
INDONESIA di tangan Kabinet Jokowi-JK, makin jauh dari kata beres. Sembako naik, BBM naik, Listrik naik, Dollar naik. Sisa apa lagi yang gak naik di zaman Jokowi?
Padahal, belum cukup setahun mengemban amanah sebagai pemimpin bangsa. Yang paling terasa oleh masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah di bawah UMP atau UMK, adalah harga segala macam barang kebutuhan pokok – mulai terasi hingga mobil – termasuk BBM dan TDL, terus bergerak naik. Lambat tapi pasti. Ibarat siput memanjat pagar. Pelan, pelan, kelihatan seakan tidak beranjak, tapi naik terus, dan terus naik.
Masyarakat benar-benar dibuat terombang-ambing. “Coba sebut, apa aja yang nggak naik? Harga-harga di pasar pada naik, BBM sering naik, TDL juga dinaikin, pajak juga dinaikin. Yang nggak naik, ya tinggal hujan,” tutur Ngadiran, Ketua Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APSI) kepada pers, termasuk RB.com, di Jakarta, Jumat (5/6).
Di samping itu, nilai mata uang terhadap dolar juga terus meluncur naik. Celakanya, pemerintah belum mampu mengantisipasi agar tidak terlalu berimbas negatif pada roda ekonomi nasional. Hari ini, dolar sudah menyentuh angka sekitar Rp13.300. “Mana, katanya dolar akan stabil, sampai sekarang malah nambah, kagak turun-turun,” katanya sambil mencibir.
Imbasnya kata Ngadiran, masyarakat berpenghasilan kecil yang kena getahnya lantaran semua jadi susah akibat naiknya harga kebutuhan. Karenanya, dia meminta agar pemerintah lebih serius lagi berupaya semaksimal mungkin, agar rakyat tidak terus terbebani oleh naiknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan BBM.
Keadaan ekonomi yang lesu seperti ini, memang terasa sekali dampaknya pada usaha rakyat. Sutris, yang membuat warung kecil di Jl. Al Baido, Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur, yang ditemui RBC, Jum’at pagi (5/6) mengeluh karena satu bulan terakhir ini, kian sepi dari pembeli. Di warungnya yang berukuran 4×3 meter itu, Sutris berjualan bubur kacang ijo, ketan item, kopi, dan aneka mie instan.
Lelaki yang masih bujangan ini mengaku sudah enam tahun membuka warung persis di pinggir jalan. Warung ini buka dalam waktu 24 jam. “Selama enam tahun Saya berjualan di sini, baru kali ini Saya merasakan susahnya memperoleh pembeli,” katanya sambil menghitung uang hasil penjualannya. ”Cuma 700 ribuan Mas. Padahal biasanya Saya dapat pembeli tidak kurang dari dua juta rupiah,” katanya pelan nyaris tak terdengar. Pagi itu jam menunjukkan sekitar pukul 07.00 WIB, ketika meninggalkan warung Sutris, setelah sarapan dua biji telor setengah matang dan semangkuk bubur kacang ijo.
Malamnya, ketika jalan-jalan di bilangan Mangga Besar dekat RS Husada, terlihat seorang wanita muda duduk di bangku beton. Mengetahui ada orang berjalan ke arahnya, wanita itu membalikkan wajahnya sambil tersenyum manis.
“Mas, mari duduk sini,” katanya dengan suara lembut. Ketika berkata seperti itu, kepulan asap tipis kecil-kecil menyembul dari bibirnya yang mungil. Ini pertanda Ia baru saja mengisap rokoknya dalam-dalam dan panjang. Sambil menatap lurus ke seberang jalan, wanita ini bicara tanpa ditanya.
“Mas, jaman sekarang susah uang ya Mas. Masa udah jam segini Saya baru dapat tamu satu,” katanya. Saya baru maklum, rupanya wanita adalah PSK. Malam mulai terasa dingin, pertanda mulai larut. “Iya ya, kayaknya sekarang ini ekonomi lesu. Harga harga pada naik semua,” kata saya. ‘Tapi jujur ini lo Mas. Saya sih gak naikin tarif. Biasa aja, tapi ya biar begitu sepi juga,” katanya. Kali ini, mata wanita muda yang terlihat manis ini, tiba-tiba menatap tajam ke arah saya.
“Betul nih, tarif kamu kagak naik?” tanya saya pura-pura mengikuti “perkembangan” pembicaraan. Wanita yang belum memperkenalkan namanya itu menggeser duduknya agak merapat ke saya . “Betul Mas. Kalau Mas gak percaya, ayo deh kita ngamar. Dua ratus, biasa kok Mas, Bener tarif aku gak naik. Mas aja yang naik hi, hi, hi,” katanya sambil menarik lembut tangan saya. “Sory ya, ntar aja, Saya lagi nungguin teman. Ntar ya aku balik ke sini lagi. Permisi,” ucapku.”Ah, gombal,” sungut wanita itu.
Sementara itu, jauh dari Ibukota, di Kabupaten Muna tepatnya di Pasar Panjang Laino, Raha, kelesuan dan kejenuhan tampak jelas menghiasi wajah-wajah para pedagang. “Wah sekarang ini serba susah pak. harga barang terus naik, tapi pembelinya tidak ada. Situasi ekonomi benar-benar lesu pak. Sudah tiga hari sepi pembeli. Sebelumnya tidak pernah terjadi seperti ini,” kata Asni kepada Laode Syukur wartawan media ini. Perempuan separoh baya pemilik kios Ridha yang menjual aneka barang kelontongan, ini mengeluhkan sulitnya memperoleh pembeli sekarang, dibandingkan dengan waktu sebelum Pilpres berlangsung tahun lalu. “Kemarin Saya hanya dapat satu pembeli,” kata Asni ketika ditemui di kiosnya, Minggu (7/6).
Di sebelah toko kelontong itu, seorang ibu yang juga PNS setengah baya menatap lurus ke kios rempah. Ketika didekati RBC, ibu ini langsung mengeluh. “Kenapa jadi begini ya. Kemarin harga bawang ini masih Rp20.000/kg, tapi kok tiba-tiba naik Rp6.000. Uhf tidak jadi deh beli bawang. Mulai hari ini sayur tidak usah dikasi bawang. Kalau perlu tidak usah makan sayur. Semua jadi mahal begini,” kata sang ibu. Ia hanya melirik sejenak kepada RBC, kemudian langsung pergi tanpa “ba, bi, bu”.
Seperti dituturkan Asni (47), jelang Ramadhan 1436 H yang tinggal beberapa hari lagi, sebelumnya harga bawang merah di pasar Panjang Laino, Raha cuma Rp20 ribu/kg, kini naik dan bertengger di harga Rp26 ribu/kg. Bawang putih naik Rp3.000, dari Rp16 ribu/kg jadi Rp19 ribu/kg. Merica dari Rp150 ribu/kg naik menjadi Rp185 ribu/kg. Disusul harga gula pasir dari Rp450 ribu/50 kg naik menjadi Rp620/50 kg.
Asni menduga ada permainan dari oknum pedagang besar dan tengkulak, sehingga naiknya harga-harga di pasaran sama-sama dikeluhkan para pedagang eceran dan pembeli,
Terkait melonjaknya harga-harga kebutuhan tersebut, seorang pengamat sosial ekonomi, Andi Faizal Djollong ikut bicara. Menurutnya, untuk menyikapi lonjakan harga bahan pokok jelang Ramadhan, suplay bahan pokok di pasaran harus diperbanyak, karena kebutuhan konsumen jelang Ramadhan dipastikan akan banyak. “Suplay atau penambahan bahan pokok sebaiknya ditingkatkan. Jangan ditahan-tahan sebab akan menimbulkan spekulasi pasar di mana-mana. Fenomena ini nampaknya tiap tahun selalu terjadi. Ini dikarenakan kurangnya pasokan kebutuhan pokok sehingga memicu lonjakan harga-harga di pasaran,” ungkap Faizal Djollong saat dihubungi RBC melalui telepon selulernya, Minggu malam lalu (7/6) di Jakarta.
Dia mengajak kepada produsen dan distributor agar segera menambah kebutuhan dasar bahan pokok di pasaran sehingga lonjakan harga tersebut dapat dinetralisir kembali sebagaimana mestinya sehingga tidak menimbulkan kepanikan pasar khususnya konsumen, saran Faizal.
Hal senada juga diungkapkan Muh. Basri Rahim seorang PNS Kepada RBC Minggu sore kemarin (9/6), Ia berpendapat untuk mengantisipasi gejolak harga kebutuhan pokok di pasaran jelang Ramadhan, pemerintah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) di tiap daerah sebaiknya ‘turun’ ke pasar untuk fokus melakukan pengawasan dan pemantauan aktivitas pasar sehingga nantinya kondisi pasar kembali normal dan aktivitas jual-beli kebutuhan pokok kembali ramai dan menyenangkan. “Kita berharap melalui Disperindag dapat melakukan operasi pasar jelang Ramadhan, sehingga harga-harga kebutuhan pokok dapat dinetralisir kembali,” harap Basri.(Syukur La Ode Abdul)