
SEJATINYA tak mudah mempertemukan penulis puisi Slamet ‘Mamiek’ Widodo untuk kembali berkolaborasi dengan Etnomusikolog dan komposer/arranger Rizaldi Siagian. Tapi, atas nama persahabatan dan paham saling menghormati, pengusaha properti memiliki hobi Sastra dan seniman sejati yang cinta keindahan dan kekayaan budaya etnik Nusantara kelahiran Binjai – Sumatra Utara, 25 April 1950 ini, berhasil menyuguhkan karya musik artistik yang padat nuansa relevansi sosial.
Mamiek menulis puisi bertema lingkungan, protes sosial, kemanusiaan, antara lain dengan basis anti drugs, penolakan perlecehan hak anak. sementara Rizaldi memusikalisasi puisi mbeling dan kemudian mengemasnya dalam album bertajuk “Kehidupan”.
“Atas nama persahabatan dan paham saling menghormati, saya berani memaksa Mamiek menyerahkan sejumlah puisinya kaya tema bahasan, punya relevansi sosial untuk diapakan saja. Alhasil, saya benar-benar tertantang memusikalisasi puisi Mamiek secara maksimal, lewat garapan instrumen musik etnik dari banyak daerah di Indonesia. Dan atas nama persahabatan pula, saya berani memaksa Mamiek membaca puisi, atau sedikit menyanyi,” ujar Rizaldi Siagian kepada RB.Com disela-sela peluncuran album musikalisasi puisi Kehidupan di Dim Sum Festival, Kemang – Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Ditambahkan Etnomusikolog jebolan S2 San Diego State University – California ini, dengan modal saling mengerti itulah – dirinya mengajak sejumlah seniman, tua muda, lelaki perempuan, terutama dari wilayah musik daerah, untuk bekerjasama. Mereka adalah Rahayu Supanggah, penyanyi dan penembang Peni Candrarini, Dharsono, novelis dan aktris Jenar Mahesa Ayu, Masri Ama Piliang gitaris yang “kenyang” pengalaman di dunia entertainment. “Bahkan, Mas Mamiek pun menyerahkan tembang mocopatan karya Ibunya, Eyang Artini, untuk disulap menjadi tembang berjudul ‘Hidup’ penuh nuansa musik gamelan Jawa.” terang Rizaldi yang tahun 2000 silam bersama mendiang Rinto Harahap mendirikan grup musi Grenek dengan orientasi pada karya kolaborasi musik Melayu dan pop.
Menurut Rizaldi, karya bersama ini disebut Teater Bunyi. Yakni wadah dirinya mengeksplor kemampuan memainkan beragam alat musik etnik dari Batak Toba, Batak Karo, Dayak, Bali, sampai dawai Melayu, Sesuai rencana, awal tahun 2015 album bertitel Kehidupan bermaterikan lagu-lagu dengan pesan moral pesan sosial berjudul ‘Hidup’, ‘Budi Dingklang dan Anjingnya’, ‘Sebungkus Sabu dan Perempuan Lugu’, ‘Hutanku Meratap’, ‘Kawin Muda’ (yang ini hasil rekaman penampilan live), ‘Jangan Biarkan Kekerasan Itu Terjadi’ (lagu tentang pengebirian hak anak), siap edar. “Bahkan kami rancang musikalisasi puisi ini akan dipentaskan secara live,” tuturnya.
Karya kolaborasi Slamet Widodo dan Rizaldi Siagian ini sejatinya mulai dibukukan dalam sebuah rekaman sejak tahun 2006. Tapi baru akhir tahun 2014 terpikir buat dimasukkan dalam album kompilasi. “Hal itu pun didorong lebih keras peredarannya, setelah Rizaldi Siagian menerima Anugerah Seni dari Kemendikbud. Juga, gara-gara ada karya kolaboratif Mamiek dan Rizaldi berjudul ‘Hutanku Meratap’, sebuah karya bersama yang telah mendapatkan penghargaan Internasional sebagai referensi,” terang Bens Leo, penggemar karya eksploratif juga pengamat musik industri itu. * (naskah dan foto – ata)