
Pembicara Diskusi Meningkatkan Minat Penonton Film Nasional di Jakarta
Jakarta.RBC.-AKIBAT lebih mementingkan kwantitas ketibang kualitas, jumlah penonton film nasional terus menurun dari tahun ke tahun, Masa keemasan industri perfilman Indonesia tahun 2008 dengan 87 judul film tapi mampu menyedot sekitar 30 juta penonton ditandai dengan sukses besar film Laskar Pelangi karya sutradara Riri Reza dengan rekor penonton 4,1 juta dan film Ayat-Ayat Cinta besutan Hanung Bramatyo (3,6 juta penonton) sulit diulang kembali.
Berdasarkan data Kemenparekraf tiga tahun terakhir, pada 2012 film nasional diproduksi sebanyak 87 judul dan hanya memperoleh penonton 15 juta 700 ribu. Tahun 2013 dengan 100 judul film terjaring 15 juta penonton serta tahun 2014 lalu dengan jumlah produksi film bertambah menjadi 114 judul tapi hanya mampu meraih 15 juta 200 ribu penonton.
Kalau pada era keemasan 2008 silam dengan rekor penonton 30 juta dari 87 film, diestimasikan setiap judul film nasional ketika itu rata-rata memperoleh 344.828 penonton. Sedangkan pada dua tahun terakhir, dengan jumlah film 100 judul dengan jumlah penonton 15 juta dan 114 film dengan penonton 15 juta 200 ribu, diestimasikan penonton setiap judul film nasional terus menurun masing-masing hanya berkisar 150 ribu dan 134.510 penonton. “Penyebab terus menurunya minat penonton film nasional karena kualitas memburuk. Untuk meningkatkan kembali animo penonton – seperti era keemasan tahun 2008, insan film harus berlomba-lomba memproduksi film yang berkualitas,” ujar Djonny Syafruddin – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) pada diskusi publik “Meningkatkan Minat Penonton Film Nasional” di Hotel Millenium – Jakarta, Senin (23/3) siang.
Menurutnya, guna meningkatkan kualitas tersebut – para Steakholder perfilman Indonesia mulai dari sutradara, produser, aktor dan aktris, hingga asosiasi pemilik bioskop, sudah saatnya mengesampingkan sisi kuantitas. “Tak masalah, demi menghasilkan banyak film nasional berkualitas, jumlah produksi film nasional menurun. Sebab, hanya dengan mementingkan kualitas, jumlah penonton bioskop kembali akan meningkat,” tandas Djonny.

Seleksi Layak Tayang
Pembicara lain, Kemala Atmodjo – Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengusulkan, saat ini sudah waktunya ada kesepakan antar insan film nasional menyangkut seleksi jenis film yang layak tayang di bioskop tanah air. “Guna mencegah terus menurunnya jumlah penonton film nasional, seharusnya pengelola bioskop memiliki kewenangan menyeleksi dan menolak sebuah film yang tak bermutu ditayangkan. Analoginya, seperti toko buku yang berhak menolak memasarkan buku-buku bermutu rendah atau jelek,” papar Kemala seraya mengungkapkan, dari 114 film nasional produksi tahun 2014 lalu, separuhnya berkualitas buruk. “Baca judulnya saja, kita geleng-geleng kepala,” tuturnya.
Sementara produser Oddy Mulya Hidayat, setuju dengan usulan tersebut. Menurut, Sekjen Persatuan Perusaan Film Indonesia (PPFI), banyaknya film nasional berkualitas rendah sangat mengganggu dan berpengaruh terhadap upaya keras pihak-pihak yang serius mengembalikan kejayaan industri film nasional. “Jumlah penonton film nasional berpotensi tambah anjlok, bila ridak diseleksi sebelum tayang di bioskop,” ujar bos Maxima Pictures yang lewat film 99 Cahaya di Langit Eropa part 1 dan 2 produksinya – sukses menjarin sekitar 1,7 juta penonton itu.
Catherine Keng – Corporate Secretary jaringan bioskop XXI mengungkapkan, penonton film bioskop saat ini tidak bisa didikte. Pasalnya, sebagai audience mereka memilik waktu luang. “ Artinya, dengan waktu serba terbatas, tentu saja penonton: akan memilih film terbaik menurut mereka. Untuk mampu bersaing dengan film produksi luar negeri seperti Hollywood, kualitas film nasional memang harus ditingkatkan,” harap Chaterine. * (naskah dan foto – ata)